Sebelum menggambar ini saya sempat kepikiran untuk menggambar pemakaman
Baqi’ Al-Gharqad di Madinah, pemakaman Jannatul Ma’la (Sayyidah Khadijah-Ummul
Mukminin Radhiyallahu anha ) di Makkah
dan pemakaman Zanbal: pemakaman para
waliyullah di Hadhramaut. Serius, saya sudah riset tentang manuskrip
gambar-gambar makam Baqi dari ilustrasi-ilustrasi miniatur yang ada di kitab Futuh
al-Haramayn karya Syaikh Muhyiddin Lari, googling foto-foto lama pekuburan
Ma’la, juga ngamatin dengan jeli Google Earth untuk mengira-ngira letak
makam-makam penting di Zanbal. Kertas sudah disiapkan dan beberapa scan
manuskrip sudah diprint sebagai panduan (mestinya ini nggak perlu).
Tapi nasib berkata
lain (1)
Saya teringat bahwa
sejak beberapa tahun lalu setelah saya ziarah ke Makam Para Raja Mataram Islam
di Imogiri, saya sudah berazam akan membuat ilustrasi makam suci itu. Cat
airnya harus dicampur air yang saya minta dari gentong-gentong keramat di sana
dan untuk keperluan itu saya masih menyimpan baik-baik air tersebut demikian
pula buku panduan ziarah yang saya beli di sekitaran makam karena ada bagian
buku yang memaparkan denah makam berikut siapa saja yang dimakamkan di situ.
Tapi nasib berkata
lain (2)
Sebelum bulan suci
Ramadhan kemarin saya sempat membaca beberapa buku tentang keraton, Perang
Jawa, Kesultanan Mataram Islam, pusaka-pusaka, perbukuan di lingkup keraton
Jogja, dan tema-tema lain sekitar itu (jangan tanya tentang Kidung Lelembut,
saya nggak tahu). Ditambah setahun lalu polemik tentang suksesi Keraton Jogja
membuat banyak media lokal mengangkat kembali tema-tema seputar Panembahan
Senopati dan Ki Ageng Pemanahan – Semoga Allah merahmati beliau berdua – sehingga animo masyarakat untuk menggali lebih dalam
tentang sejarah Keraton Jogja lumayan ngetrend waktu itu. Saya juga demikian,
ikut trend :v . Sampai kemudian saya berkesimpulan bahwa ada yang lebih tua,
lebih sakral, lebih keramat, lebih suci, lebih dihormati, dan lebih dimuliakan
jauh sebelum terjadinya palihan nagari atau terpecahnya Kesultanan Mataram
menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Kotagede, dimana para
leluhur pendiri Mataram Islam beristirahat dalam damai.
Tahun lalu saya sempat
berkeliling di sekitar komplek makam itu bersama Miko, Huft, Shafa, dan Ruqo, pada saat menunggu buka puasa bersama di rumah
Ruqo seputaran makam Hastarengga dan komplek Watu Gilang Kotagede. Saat itu ya
cuman jalan-jalan biasa, My Njiarah My Adventure semacam itu. Ingatan tentang
hal itu saya rasa belum cukup untuk menggambar. Saya butuh riset sehingga saya
ingat bahwa beberapa tahun lalu untuk keperluan sketsa saya juga kesana sama
Fahmi. Cari folder fotonya dan googling sana-sini. Selain itu saya juga
bertanya ke Gratama Pustaka dimana saya bisa mengakses peta atau dokumen lawas tentang
pemakaman Kotagede di zaman Raffles, atau paling nggak zaman Belanda lah.
Selain itu saya juga sangat terbantu dengan buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka
di Indonesia karya Emile Leushuis.
Akhir-akhir bulan Sya’ban
kemarin saya mulai nyeket gambarnya dan selama bulan suci Ramadhan (Ramelan) mengerjakan
pewarnaan dan perbaikan sana-sini. Saya dikritik Huft saat pengerjaan gambar
ini karena dirasa mengenakan pakaian yang kurang pantas saat mengerjakannya.
“Yo le klambenan ki sing
apik!”
Saya nyengir karena
saya nggak mau gambar ini jadi bernilai ada mistik-mistiknya dengan menyertakan
aturan apapun yang berhubungan dengan kesakralan seperti penulisan banyak karya
sastra Jawa yang dikeramatkan. Selain karena menurut saya dalam pewarnaan
langitnya saya sedikit menyimpang dari aturan dan tata cara pewarnaan para guru
miniatur, saya rasa gambar ini juga belum bisa dikatakan sempurna dan bagus.